Raksasa Ritel yang Awet Muda
Selain
the Beatles dan Manchester United, masyarakat Inggris punya nama lain
yang bisa dibanggakan, yakni Tesco. Namun, berbeda dari dua nama
sebelumnya yang identik dengan dunia tontonan, nama terakhir ini
berkiprah di dunia perdagangan.
Memang,
Tesco patut dibanggakan, karena merupakan salah satu jagoan bisnis yang
masih mampu bertahan hingga 8 dekade. Bukan sekadar bertahan, Tesco
kini masih salah satu peritel terbesar di dunia, yang mengoperasikan
5.380 toko (terdiri dari superstore, supermarket dan convenience store) di 14 negara, mempekerjakan sekitar 490 ribu orang di seluruh dunia, dan melayani jutaan pelanggan tiap minggunya.
Bisnis
utama Tesco berada di Inggris. Di negerinya mendiang Lady Di ini Tesco
merupakan perusahaan terbesar sekaligus peritel makanan paling gede,
dengan mengoperasikan sekitar 2 ribu toko ritel.
Di
Eropa, Tesco beroperasi di Republik Ceko, Hungaria, Polandia, Irlandia,
Slowakia dan Turki. Di Asia, Tesco punya cabang di Jepang, Korea
Selatan, Taiwan, Malaysia dan Thailand.
Dengan situs e-commerce Tesco.com, perusahaan ini tercatat sebagai online supermarket terbesr
di dunia. Tesco juga punya bisnis jasa finansial lewat Tesco Financial
Services, yang mengontrol 4,6 juta rekening. Lalu, dengan lebih dari
100 unit Tesco Express Chain, perusahaan ini merupakan penjual BBM
terbesar di Inggris.
Sejarah Tesco dimulai ketika John Edward (Jack) Cohen mendirikan Tesco Stores Ltd. pada 1932. Nama ini diambil dari nama merchant
tempatnya membeli teh, yakni T.E. Stockwell. Cohen sendiri sebenarnya
sudah merintis bisnis sebagai pedagang dan peritel sejak 1919 ketika ia
menginvestasikan uang sebesar 30 pounds hasil upahnya mengabdikan diri
di the Royal Flying Corps pada Perang Dunia I.
Usahanya ini berhasil sehingga ia mengembangkannya menjadi bisnis grosiran (wholesaling) yang menjual komoditas untuk pedagang lainnya.
Delapan
tahun setelah pendiriannya, Tesco ternyata berkembang pesat dengan
membuka lebih dari 100 toko kecil, terutama di wilayah London. Pada
1935, Cohen pergi ke Amerika Serikat untuk mempelajari sistem food retailing. Sayangnya, mimpi Cohen untuk membawa konsep supermarket self-service gaya Amerika ke Inggris, tertunda oleh pecahnya Perang Dunia II.
Baru pada 1947, mimpinya bisa direalisasi dengan membuka toko self-service
pertamanya di St. Albans, Hertfordshire. Di tahun itu juga, saham Tesco
Stores Ltd. dijual ke publik. Meskipun toko di St. Albans ini ditutup
pada 1948 lantaran tidak begitu menarik minat pembeli, pada tahun
berikutnya dibuka dan mampu memperoleh respons lebih hangat.
Dua
dekade berikutnya, bisnis Tesco makin berkembang pesat di seantero
Inggris. Terutama dengan cara mengakuisisi jaringan toko ritel lainnya,
antara lain: 19 toko Burnard (1955); 70 toko Wiliamsons Ltd. (1957);
200 cabang Harrow Stores Ltd. (1959); dan beberapa nama lainnya. Pada
1956, ada capaian istimewa, berupa pembukaan supermarket-nya yang pertama di Maldon, Essex, yang bisa menawarkan fresh food, di samping dry food tradisional.
Prestasi
istimewa berikutnya tatkala pada 1967 Tesco menyelesaikan konstruksi
gudangnya di Westbury, Wiltshire, yang memiliki luas 90 ribu kaki
persegi. Setahun berikutnya superstore pertamanya yang seluas 40 ribu k2 diresmikan di Crawley, Sussex. Istilah superstore
yang diperkenalkan ini bukan Cuma merujuk pada luasan tokonya, tetapi
juga pada besarnya pilihan produk makanan ataupun nonmakanan dengan
harga terjangkau. Pada 1976, tercatat hampir 900 supermarket dan superstore telah dioperasikan dengan formula yang diimpornya dari AS.
Namun
sayang, sesuai dengan perkembangan zaman dan selera konsumen, strategi
ini lama-kelamaan makin tak mengenai sasaran. Sudah marginnya tipis,
Tesco menghadapi masalah citra di mata konsumen sebagai jaringan toko
yang tidak nyaman. Kebanyakan toko Tesco juga sulit dioperasikan,
bahkan susah mencari staf yang andal. Apalagi, Tesco mesti bersaing
ketat dengan Sainsbury Plc., salah satu rival utamanya. Untuk men-turnaround-nya,
di bawah kepemimpinan komandannya ketika itu, Ian MacLaurin, Tesco
menjalankan program modernisasi besar-besaran. Tesco memutuskan menutup
500 tokonya yang tidak menguntungkan, sebaliknya memperbarui toko-toko
yang menguntungkan. Termasuk peningkatannya adalah memperbaiki
pencahayaan ruangan dan memperluas gang-gang di tokonya.
Tesco
juga merestrukturisasi dan mengomputerisasi sistem distribusinya, serta
membuka gudang-gudang persediaan yang tersentralisasi yang siap sedia
mengirimkan barang ke toko-tokonya ketimbang harus tergantung pada
jadwal kirim pabrikan/pemasok mitranya. Tesco pun mulai memperkenalkan
lini produk label privatnya, yang dikembangkan melalui proses R&D
yang mendalam.
Pada
1983, manajemen perusahaan ini mengganti nama Tesco Stores Ltd. menjadi
Tesco Plc. Setahun berikutnya, Tesco menggandeng Mark & Spencer,
toko aneka barang kelas atas, untuk mengembangkan shopping centre di luar kota-kota besar Inggris. Proyek perdana kerja sama ini dilakukan di Brookfield Centre, dengan menggandengkan superstore Tesco seluas 65 ribu k2 dengan department store Mark & Spencer seluas 69 ribu k2. Superstore Tesco ini didukung 42 konter checkout terkomputerisasi dan 900 karyawan. Lalu, pada 1985, Ian MacLaurin diangkat sebagai Chairman Tesco dan sekaligus membuka superstore-nya yang ke-100 di Inggris.
Di
awal 1990-an ini, Tesco merambah bisnis ritel BBM. Pada 1991, Tesco
telah menjadi peritel BBM terbesar di Inggris Raya. Lalu, pada 1992,
Tesco memperkenalkan format toko Tesco Metro yang berukuran lebih kecil
(sekitar 10 ribu k2) untuk wilayah perkotaan. Dan yang terpenting, tiga
tahun kemudian Tesco akhirnya mampu mencatatkan diri sebagai peritel
makanan dengan pangsa pasar terbesar di Inggris Raya.
Era
1990-an merupakan masa ekspansi Tesco ke luar Inggris. Awal 1990-an,
Tesco sudah punya 371 toko di Inggris, Skotlandia dan Wales, di mana
150 di antaranya merupakan superstore. Era ini pula merupakan
puncak ambisi Tesco untuk memenangi pangsa pasar bisnis ritel dengan
menggulirkan program pengembangan dua tahun berbiaya 1 miliar pounds,
dengan menambahkan 60 toko baru dengan luasan total lebih dari 2,3
miliar k2.
Tangan
ekspansif Tesco kemudian merambah Prancis (walaupun akhirnya keluar
lagi), Hungaria, Polandia, Ceko, Slowakia, dan sebagainya – dengan
mengakuisisi jaringan toko ritel setempat.
Februari
1995, Tesco mencatatkan diri dalam sejarah sebagai peritel pertama di
Inggris Raya yang meluncurkan program kartu loyalitas berupa Tesco
Clubcard. Dua tahun berikutnya didirikan Tesco Personal Finance untuk
memudahkan kebutuhan pembiayaan pelanggannya. Pada 1997 itu pula
terjadi perubahan penting di tubuh manajemen. MacLaurin yang pensiun
dari jabatan chairman, digantikan oleh John Gardiner. Adapun Terry Leahy ditunjuk sebagai CEO.
Leahy kemudian memperkenalkan strategi pertumbuhan. Di bawah kepemimpinan Leahy, Tesco meluncurkan bisnis e-commerce-nya,
Tesco.com, yang merupakan salah satu pengembangan bisnis strategis.
Inilah yang sekarang dinilai mampu menggandakan pertumbuhan keuangan
perusahaan ritel ini. Layanan grosir home shopping-nya dengan cepat mampu tumbuh sebagai yang terbesar di dunia.
Di
bawah kendali Leahy, ekspansi internasional Tesco makin menggila.
Terutama sekali ke kawasan Asia. Pada 1998, pasar Thailand dimasuki.
Setahun berikutnya giliran Kor-Sel dirambah, menyusul kemudian Taiwan
(2000), Malaysia (2002), Jepang (2003) dan Cina (2004). Lagi-lagi,
secara umum langkahnya dengan mengakuisisi jaringan toko ritel di
negara bersangkutan.
Bukan
berarti area bisnis utamanya, yakni Inggris, dilupakan. Malah, dalam
dekade pertama kepemimpinan Leahy, di negerinya David Beckham ini Tesco
berhasil menyisihkan rival-rival utamanya, dan meningkatkan pangsa
pasarnya dari 15,4% (1998) menjadi 28% (2004). Tahun itu juga, Tesco
mencatat langkah akuisisi cukup fenomenal terhadap jaringan convenience store T&S Stores Plc., yang memiliki 870 toko.
Tampak
jelas, bahwa transformasi dan inovasi selalu menjadi agenda penting
Tesco di sepanjang usia bisnisnya. Dan, peranan teknologi amatlah vital
di dalamnya. Tesco pun tak ragu menginvestasikan dana besar-besaran
untuk TI guna mengembangkan layanannya. Sebagai contoh, bisa dilihat
pada salah satu program inovatif yang diperkenalkannya di dunia bisnis
ritel, kartu loyalitas.
Tesco menerapkan sistem kartu loyalitas untuk mencatat dan mengelola data pelanggan, dengan dukungan perangkat smart register untuk memantau inventori ataupun penjualan.
Dalam pola ini, pelanggan akan memperoleh poin dari setiap duit yang
dibelanjakannya. Poin yang terakumulasi bisa dipakai untuk membayar
belanjaan, baik di toko jaringan Tesco, di situs Tesco.com, maupun di
toko ritel yang menjadi mitranya. Pendeknya, Tesco bisa memberikan
tawaran menarik antarplatform bagi pelanggan.
Berdasarkan
pengalaman, data yang bisa diperoleh dari transaksi belanja pelanggan
itu dinilai lebih akurat dibanding informasi analisis pasar yang
sebelumnya dijalankan.
Perlu
diketahui, informasi dari kartu loyalitas itu sebenarnya digunakan
untuk melihat profil kelompok pelanggan, dan bukan melacak informasi
belanja tiap individu konsumen (meskipun hal ini bisa dilakukan).
Sebagai alat pemasaran, sistem kartu loyalitas diharapkan bisa menarik
pelanggan baru, dan di sisi lain membuat pelanggan lama mau
meningkatkan nilai belanjanya.
Bagi Tesco sendiri penggunaan kartu loyalitas bisa memberikan keuntungan dalam hal positioning, penentuan produk, dan pricing.
Pertama, dengan data yang diperoleh Tesco bisa memprofilkan mana tipe
pelanggan yang paling menguntungkan, sehingga kemudian membantunya
dalam membuat keputusan positioning. Contohnya bila ternyata
profil pelanggan yang paling menguntungkan adalah wanita menikah kaya
yang memiliki anak di bawah usia 10 tahun yang tinggal dalam jarak 5 km
dari toko, Tesco bisa mengambil positioning untuk menarik perhatian kelompok konsumen ini. Selanjutnya informasi yang terkumpul bisa digunakan buat perencanaan iklan.
Data
yang terkumpul dari kartu tersebut juga bisa digunakan pada penentuan
keputusan produk peritel. Situasi ini bisa muncul bila peritel
mempunyai stok dua atau lebih jenis produk serupa yang saling
berkompetisi. Pertanyaannya, manakah produk yang akan lebih
dipromosikan dan disediakan ruang yang lebih besar di toko? Nah, dengan
data dari kartu loyalitas, bisa dilihat mana produk yang lebih diminati
oleh pelanggan sehingga perlu lebih diutamakan.
Dengan data tersebut, Tesco pun dapat menentukan strategi pricing yang paling menguntungkan. Contoh, bila toko ritel Tesco ingin mengoptimalkan profit dari lini produk cracker, mereka bisa menawarkan beberapa produk cracker berbeda
dengan harga yang sedikit dikurangi, sekaligus lebih mengiklankannya.
Dari sana akan terlihat berapa besar peningkatan penjualan, yang akan
menyumbang pada peningkatan profitabilitas.
Toh,
untuk bisa menikmati keberhasilan sistem kartu loyalitas, berdasarkan
pengalaman Tesco, ada sejumlah faktor yang mesti dipenuhi. Pertama,
toko ritel itu harus dilengkapi dengan mesin smart register yang terhubung, yang bisa dipakai untuk meng-input
informasi kartu ataupun data produk secara detail. Sistem ini pun mesti
terhubung dengan semua titik layanan Tesco, termasuk dengan situs
Tesco.com.
Tentunya
membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Tesco mengeluarkan biaya
hingga 200 juta pounds setiap tahun untuk menerbitkan voucer,
membelanjakan 11 pounds untuk tiap kartu fisik dan mengirimkan surat
kepada 10 juta rumah tangga sebanyak empat kali setahun. Tesco memang
berusaha mengurangi biaya rata-ratanya dengan melibatkan peritel lain
dalam program kartu loyalitasnya.
Faktor
kedua berupa skema program kartu loyalitas yang bisa menarik minat
peritel lain. Promosi dan rekrutmennya tentu membutuhkan investasi yang
tidak sedikit. Untungnya, Tesco merupakan perusahaan ritel pertama yang
memperkenalkan skema kerja sama ini. Ini juga didukung oleh beberapa
studi yang menunjukkan terlalu banyaknya program kartu loyalitas yang
beredar di pasar akan membuat kejenuhan dan mengurangi efektivitasnya.
Faktor
terakhir adalah cukupnya jumlah pelanggan yang bergabung dalam program
kartu loyalitas ini dan secara reguler menggunakannya ketika
berbelanja. Dalam hal ini, Tesco diuntungkan sebagai pemain paling awal
di bidang kartu loyalitas yang menawarkan keragaman toko dan barang
ritelnya. Banyak pelanggan yang cukup tertarik dengan konsep program
ini karena adanya potensi penghematan pada belanja rumah tangga mereka.
Dengan
menjalankan program kartu loyalitas, Tesco boleh dibilang kini
merupakan salah satu pengelola sistem manajemen informasi paling kaya.
Dan, cukup dengan membangun infrastruktur jaringan tunggal, Tesco bisa
memantau kinerja penjualan baik di wahana e-commerce maupun gerai lainnya.
Langkah
inovasi semacam ini bukan cuma dijalankan Tesco di negeri asalnya,
Inggris, tetapi juga di jaringan tokonya di negara lain. Salah satu
poin plus Tesco lantaran juga menerapkan penggunaan teknologi mutakhir
dan inovasinya dengan tetap melihat pada karakter dan kebiasaan
masyarakat konsumen setempat. Misalnya bisa dilihat dengan inovasinya
di Kor-Sel.
Di
Negeri Ginseng itu, Tesco memiliki Homeplus, jaringan ritel terbesar
kedua setelah E-Mart. Sebenarnya, Tesco tidak sendirian membuka
jaringan toko diskon ini, melainkan dengan menggandeng Samsung. Namun,
Tesco memegang kepemilikan mayoritas, yakni 94%, dan sisanya milik
Samsung.
Di ibu kota negara ini, Seoul, Homeplus baru saja membuat toko virtual di stasiun-stasiun subway – yang
dimaksudkan untuk membantu warga kota ini bisa berbelanja lebih nyaman
di tengah kesibukan dan sempitnya waktu mereka. Maklum, Kor-Sel dikenal
sebagai salah satu negara paling sibuk di dunia.
Jaringan Homeplus kini punya 115 toko. Beberapa di antaranya berupa hypermart. Homeplus juga punya toko e-commerce.
Ambisi
Tesco di Kor-Sel adalah bisa mengalahkan E-Mart, jaringan ritel yang
dimiliki oleh Shinsegae Group dan masih merupakan jagoan ritel nomor
satu di negara tersebut. Caranya, selain menambah jaringan toko
fisiknya, juga menggunakan wahana online untuk mendongkrak penjualannya.
Berkat keseriusannya, online store milik Homeplus kini telah menjadi pemain e-commerce nomor satu di Kor-Sel untuk barang grosir, merchandise umum, dan consumer goods. Nah, toko virtual yang dibangun di stasiun-stasiun subway tadi, sejatinya merupakan perpanjangan dari strategi online-nya.
Toko
virtual itu – yang didesain mirip toko sebenarnya – tidaklah menyimpan
produk sesungguhnya, melainkan hanya punya rak grosir virtual yang di
dalamnya ada model makanan segar dan perishable (tidak tahan lama). Konsumen yang melewati toko virtual itu bisa memilih produk yang diinginkan dengan cara cukup memindai (scan) kode QR produk tersebut menggunakan smartphone mereka. Kalau QR code (singkatan dari Quick Response code,
yang merupakan kode matrik sebagai pengembangan dari kode batang)
sebuah produk sudah dipindai, data produk yang telah dipilih itu akan
masuk ke keranjang virtual konsumen. Bila konsumen menyelesaikan
belanjanya, dia tinggal menunggu barang dikirimkan ke rumahnya hari itu
juga.
Konsep
ini memang dinilai relatif cocok dengan karakter dan gaya hidup orang
Kor-Sel. Pertama, riset yang dilakukan perusahaan pemasaran Cheil
Worldwide sebagaimana dipesan Tesco, menunjukkan kebanyakan orang
Kor-Sel memandang belanja barang grosir untuk kebutuhan rumah tangga
mereka sebagai beban tersendiri. Sebab, mereka merasa sudah sibuk
bekerja, punya urusan keluarga, dan seabrek aktivitas lainnya. Kedua,
riset itu juga menunjukkan banyak dari mereka yang menginginkan waktu
tunggunya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif, semisal
berbelanja kebutuhan rumah tangga. Faktor ketiga, tentu saja karena
perkembangan penggunaan smartphone yang pesat di Kor-Sel, yang diiringi dengan ketersediaan teknologi dan aplikasi yang dibutuhkan.
Selama November 2010 hingga Januari 2011, Cheil Worldwide membantu memperkenalkan virtual store Homeplus tadi dengan kampanye iklan. Dalam periode tiga bulan itu, jumlah anggota terdaftar barunya pun naik 76% dan penjualan online meningkat 130%.
Bukan hanya Tesco’s Homeplus yang diuntungkan. Berkat konsep virtual store di stasiun subway tadi, Cheil Worldwide sebagai konsultan Homeplus pun memperoleh tiga award sekaligus dalam ajang bergengsi Canness International Festival Creativity ke-56.
Sukses virtual store di stasiun subway itu mendorong manajemen Homeplus mencari tempat serupa di seantero Kor-Sel untuk menaruh virtual store-nya.
Kuncinya, tempat itu merupakan area publik dan bisa menarik banyak
orang secara reguler di mana mereka berkumpul, dan lebih baik lagi bila
mereka menunggu sesuatu. Inilah salah satu contoh penerapan inovatif
teknologi dengan membaca kebutuhan dan kebiasaan konsumen.
Ya,
sekali lagi, inovasi membuktikan diri sebagai darah segar bagi
perkembangan perusahaan. Termasuk buat pemain bisnis segede dan
sebandot Tesco sekalipun.
Riset: Sarah Ratna Herni
BOKS 1:
Sekilas Profil Tesco Plc.
Bidang bisnis : Jaringan toko ritel/grosir food dan non-food
Berdiri : Tahun 1932 (Tesco Stores Ltd.)
Pendiri : John Edward Cohen
Kantor pusat : Tesco House, Hertfordshire, Inggris
Situs : www.tesco.com
Jumlah toko : 5.380 toko (aneka jenis dan ukuran)
Cakupan bisnis: 14 negara
Jumlah karyawan : 492 ribu orang
Revenue (2010/2011): 60,93 miliar pounds (hingga 26 Februari 2011)
Profit operasional: 3,81 miliar pounds
Profit net : 2,67 miliar pounds
BOKS 2:
Resep Sukses Tesco Plc.
= Pionir inovasi di bidangnya.
= Mendongkrak skala ekonomi.
= Investasi dan implementasi TI secara masif.
= Langkah akuisisi sistematis dan global.
= Kemitraan strategis dengan merek terkemuka lainnya.
= Memiliki sistem manajemen informasi yang kaya.
= Mendukung jaringan toko fisiknya dengan wahana online.
= Layanan inovatif yang adaptif dengan perilaku konsumen.
Sumber : Majalah SWA
No comments:
Post a Comment